Rabu, 06 Juni 2012

Hukum-hukum Istihadhah



Wanita yang ditimpa istihadhah hukumnya sama dengan wanita yang suci, tidak ada bedanya kecuali dalam hal berikut:
 
Pertama: Bila ingin berwudhu wanita yang mengalami istihadhah mencuci kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dengan kain.
Kedua: Dalam hal berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah, diperselisihkan boleh tidaknya di kalangan ulama. (Risalah fid Dima‘ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa‘, hal. 50)
Jumhur ulama berpandangan, boleh berjima’ dengan istri yang sedang istihadhah. Sementara ada yang berpendapat tidak boleh kecuali bila masa istihadhahnya panjang dan ada yang tidak membolehkan sama sekali karena menyamakan istihadhah dengan haidh. Namun pendapat yang kuat dalam permasalahan ini adalah pendapat jumhur ulama. Karena tidak didapati riwayat dari Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam yang berisi larangan itu, sementara banyak wanita yang mengalami istihadhah pada masa beliau. Seandainya hal itu merupakan syariat Allah , niscaya Nabinya  akan menerangkannya kepada para suami yang istri-istrinya ditimpa istihadhah dan akan dinukilkan hal itu kepada kita sebagai penjagaan terhadap syariat ini.
Selain itu ada ayat Allah  yang umum:
“Istri-istri kalian adalah ladang bagi kalian maka datangilah ladang itu sekehendak kalian.” (Al-Baqarah: 223)
Al-Imam Al-Bukhari t membawakan ucapan Abdullah Ibnu ‘Abbas  dalam kitab Shahih-nya yang maknanya bahwa wanita istihadhah boleh digauli oleh suaminya sebagaimana dibolehkan baginya untuk shalat, sementara shalat itu perkara yang lebih agung. (Shahih Al-Bukhari, Kitabul Haidh, bab “Apabila wanita istihadhah melihat dirinya telah suci dari haidh”)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani  ketika menjelaskan ucapan Ibnu ‘Abbas  ini, berkata: “Yakni bila si wanita yang istihadhah dibolehkan shalat, maka lebih utama lagi dibolehkan berjima’ dengannya karena perkara shalat lebih agung dari perkara jima’.” (Fathul Bari, 1/535)
 
Bila ada yang memasukkan darah istihadhah dalam firman Allah :
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh, katakanlah darah haidh itu adalah kotoran.” (Al-Baqarah: 222)
Maka kita katakan bahwa kata ganti (dhamir): () dalam ayat di atas menunjukkan pengkhususan, yakni darah haidh itu kotoran bukan yang lainnya. Dan di sini tidak diterima qiyas (analogi) karena adanya perbedaan antara darah haidh dengan darah istihadhah () pada kebanyakan hukumnya. Demikian diterangkan Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Asy-Syarhul Mumti’ (1/440).
 
Karena wanita istihadhah dihukumi sama dengan wanita yang suci, maka tidak ada kewajiban mandi baginya setiap akan menunaikan shalat. Demikian pendapat jumhur ulama yang disebutkan Al-Imam An-Nawawi  dalam syarahnya terhadap Shahih Muslim (4/19) dan Al-Hafidz Ibnu Hajar  dalam Fathul Bari (1/533). Adapun perbuatan Ummu Habibah yang mandi setiap kali akan shalat sebagaimana riwayatnya dibawakan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 334), hal itu merupakan ijtihad Ummu Habibah semata, bukan perintah yang datangnya dari Nabi .
 
Demikian pula berwudhu setiap akan shalat, tidak ada perintahnya dari Nabi. Adapun hadits:
“Engkau tidak boleh meninggalkan shalat. (Apa yang kau alami) itu, hanyalah darah dari urat bukan haidh. Apabila datang haidhmu maka tinggalkanlah shalat dan bila telah berlalu hari-hari haidhmu, cucilah darah darimu (mandilah) dan shalatlah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 228, 306, 320, 325, 331 dan Muslim no. 333)
dengan tambahan perintah berwudhu () setelah perintah mencuci darah (sebagaimana disebutkan dalam riwayat An-Nasa`i dari jalan Hammad bin Zaid) maka tambahan ini dilemahkan oleh ahli ilmu. (Lihat Syarah Muslim, 4/22).
Yang wajib dilakukan wanita istihadhah hanyalah mandi ketika selesai masa haidhnya, meski darah terus mengalir. Hal ini merupakan perkara yang disepakati, kata Al-Imam An-Nawawi . (Syarah Muslim, 1/25)
 
Beliau menyatakan, dalam hal ibadah shalat, puasa, i’tikaf, membaca Al Qur`an, menyentuh mushaf dan membawanya, sujud tilawah dan sujud syukur, maka wanita istihadhah sama dengan wanita suci dalam kebolehannya dan hal ini merupakan perkara yang disepakati pula. (Syarah Muslim, 4/17)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Sumber artikel di sini

********
Berkata Al Imam An-Nawawi Rahimahullahu, “Al Istihadah adalah keluarnya darah dari kemaluan wanita bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi dan bukan pada saat melahirkan) yang darah tersebut keluar dari urat yang bernama adzil, berbeda dengan haid karena haid keluar dari dalam rahim”. Lihat Syarah Shahih Muslim (4-16)
Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan dua hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
 

Masalah pertama :
Adalah tidak diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk mandi setiap hendak shalat kecuali pada saat berhenti haidnya maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya untuk mandi setiap shalat sebagaimana hadits Aisyah Rahdiyallahu ‘anha, “Telah berkata Fatiman bintu Abi Ubaisy, “Wahai Rasulullah, Aku terkena istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku boleh meninggalkan shalat?” berkata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, “Tidak, itu adalah darah yang keluar dari urat (bukan darah dari rahim, darah haid atau nifas) akan tetapi engkau boleh meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah (setelah haid selesai)”. Lihat Shahih Al Bukhari (325)
Dapat kita lihat bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam tidak memerintahkan untuk mandi setiap shalat.
 

Berkata Al Imam Asy-Syaukani Rahimahullah, “Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat yang benar bahwasannya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika haidnya selesai dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan harus mandi setiap shalat)... “. Lihat Nail Al Authar (jilid 1 Hal: 261)
Demikian juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, “Adapun riwayat yang di situ Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah diingkari oleh ulama ahlul hadits”.
Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu ‘anha sendirilah yang mandi setiap hendak shalat.
Maka telah berkata Al Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah “Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk mandi dan shalat dan tidaklah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan padanya untuk mandi setiap shalat”. Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari Sufyan bin Uyainah juga Laits bin Sa’d Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535, dan Syarah Shahih Muslim jilid 4 halaman 18)
Pendapat ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali bin mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Aisyah, Urwah bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini juga dikuatakan oleh Al Imam An-Nawawi, Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh. Lihat Jami’ Ahkam Al Quran (jilid 2 no. 77), Al Ihkam (no. 192), Ainul Ma’bud (jilid 1 no. 333), Subul As-Salaam (jilid 1 no. 160).
 

Tidak juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap kali hendak shalat, maka bila telah berwudhu boleh baginya untuk shalat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali shalat selama tidak berhadats selain darah istihadhah (misalnya buang air besar, jima’, ataupun buang angin). Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.
Ini adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu setiap kali shalat. Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk berwudhu setiap kali shalat.
Adapun hadits yang memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak shalat adalah hadits lemah yang telah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al Imam Muslim dalam Shahih-nya tatkala berkata, “Diperiwayatan Hammad bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu setiap kali shalat) sengaja kami tidak sebutkan”. Syarah Shahih Muslim (4/19). Perkataan Al Imam Muslim tersebut merupakan isyarat dari beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau lemah. Hal ini perkara yang dipahami bagi orang-orang yang memperhatikan kebiasaan Al Imam Muslim Rahimahullah di dalam Shahih-nya.
Mengingat kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan bukti-bukti yang menguatkan hal tersebut dikesempatan yang lain. Dan hal ini juga dipahami oleh Al Hafidz ibnu Hajar bahwasanya hadits ini dianggap lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat dengan Al Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu Al Baari (1/512).
Demikian juga Al Imam An-Nasa’i Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang memerintahkan untuk berwudhu setiap hendak shalat tidaklah shahih. Demikian juga Al Imam Abu Daud di dalam Sunan-nya, “Hadits ‘Adi bin Tsabit dan Al A’masy dan Habib dan Ayub Abi Al ‘Ala semuanya lemah tidak shahih”. Kemudian beliau berkata, “Telah meriwayatkan Ibnu Abi Daud dari Al Al A’masy marfu’ awalnya, dan ia ingkari hadits yang mewajibkan wudhu setiap shalat”. Lihat ‘Ainul Ma’bud (1/337)
 

Kesimpulan  
Tidak wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali hendak shalat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat ini adalah pendapat dari Imam Rabiah, Imam Malik, Dawud dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana yang tersebut di dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal 27).

Di sadur dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar