Jumat, 01 Juni 2012

Masail Haidh

1) Apa yang harus diperbuat oleh seorang wanita bila ia melihat cairan berwarna kuning atau darah keluar dari farji-nya sebelum tiba masa haid?

Asy Syaikh Abdullah bin Jibrin ketika ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab : “Apabila seorang wanita mengenali kebiasaan hari haidnya dengan hitungan atau dengan warna darah atau dengan waktu, maka ia meninggalkan shalat di waktu kebiasaan tersebut. Setelah suci ia mandi dan shalat. Adapun darah yang keluar mendahului darah haid (sebelum datang waktu kebiasaan haid), maka teranggap darah fasid (rusak/penyakit) dan ia tidak boleh meninggalkan shalat dan puasa karena keluarnya darah fasid tersebut. Tetapi hendaklah ia mencuci darah tersebut setiap waktu dan berwudlu setiap mau shalat dan ia tetap shalat walaupun darah tersebut keluar terus menerus. Wanita yang mengalami seperti ini teranggap seperti keadaannya wanita yang istihadlah.”
2) Apa yang harus diperbuat bila pakaian yang dikenakan terkena darah haid?

Asma’ berkata : [ “Datang seorang wanita menemui Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam seraya berkata : ‘Apa pendapatmu wahai Rasulullah apabila salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidnya, apa yang harus dia perbuat?’ Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :

‘Hendaklah ia mengerik darah pada pakaian tersebut, kemudian ia menggosoknya dengan air dan mencucinya. (Setelah itu) ia dapat shalat dengan menggunakan pakaian tersebut.” (HR. Bukhari nomor 227 dan Muslim nomor 110/Kitab Ath Thaharah) ]

3) Wanita haid melihat dirinya telah suci sebelum fajar namun ia belum sempat mandi kecuali setelah terbit fajar, apakah ia boleh berpuasa pada hari itu?

Al Hafidh Ibnu Hajar menukilkan tentang sisi perbedaan antara puasa dan shalat bagi wanita haid. Ia berkata : “Wanita haid seandainya ia suci sebelum fajar dan ia berniat puasa maka sah puasanya tersebut menurut pendapat jumhur. Puasa tersebut tidak tergantung pada mandi berbeda dengan shalat (harus mandi terlebih dahulu apabila seseorang ingin melaksanakan shalat).” (Jami’ Ahkamin Nisa’)

4) Wanita haid mendengarkan ayat Sajadah, apakah ia boleh ikut sujud?

Apabila wanita haid mendengar ayat Sajadah maka tidak diketahui adanya larangan baginya untuk sujud tilawah. Bahkan boleh baginya sujud tilawah, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Az Zuhri dan Qatadah. Wudlu bukanlah syarat untuk sujud tilawah. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah membaca surat An Najm maka beliau sujud dan ikut sujud bersama beliau kaum Muslimin yang hadir, orang-orang musyrikin, jin, dan manusia, sebagaimana hal ini disebutkan dalam riwayat Bukhari (nomor 4862) dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/174)

5) Apa hukum menggunakan obat untuk menghentikan haid?

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam Al Mughni (1/221) : “Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah bahwasannya beliau berkata : ((Tidak apa-apa seorang wanita meminum obat untuk menghentikan haidnya, apabila obat yang dipakai itu sudah dikenal)).”

Namun semua ini berputar pada maslahat dan mudlarat, karena ada di antara obat penahan haid tersebut yang memberi mudlarat bagi pemakainya. Maka dalam hal ini hendaklah si wanita menyadari bahwa haid adalah ketetapan Allah bagi anak perempuan turunan Adam hingga ia ridla dengan apa yang menimpanya. (Dinukil dari fatwa Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

6) Seorang wanita keluar darah dari farjinya melewati lama kebiasaan haidnya, lalu apa yang harus ia perbuat?

Misalnya kebiasaan haid seorang wanita 6 hari, lalu suatu ketika bertambah menjadi 7, 8, atau 10 hari. Maka ia melihat sifat darah yang keluar setelah 6 hari itu. Bila memang masih seperti darah haid maka ia meninggalkan shalat dan puasa. Karena memang tidak didapatkan batasan tertentu untuk hari-hari haid. Apabila darah yang keluar itu warnanya dan aroma/baunya bukan seperti darah haid, maka ia mandi dan shalat. Wallahu A’lam.

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah ketika ditanyakan kepada beliau tentang masalah ini beliau menjawab : “Apabila kebiasaan hari haid seorang wanita itu 6 atau 7 hari kemudian suatu ketika lebih dari kebiasaannya menjadi 8, 9, 10, atau 11 hari (dan sifat darahnya seperti darah haid, pent.), maka wanita tersebut tetap tidak boleh shalat sampai ia suci. Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tidak menetapkan batasan tertentu dalam hari-hari haid. Dan Allah Ta’ala berfirman :

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah : ‘Haid itu adalah kotoran’ “ (Al Baqarah : 222)

Maka kapan saja darah itu keluar dari farji, wanita yang mengalaminya tetap dikatakan haid sampai ia suci dan mandi kemudian mengerjakan shalat. Apabila pada bulan berikutnya haidnya datang kurang dari perhitungan hari pada bulan sebelumnya maka ia mandi apabila telah suci. Yang penting kapan darah haid ada pada seorang wanita maka ia meninggalkan shalat, sama saja apakah lama hari haidnya itu sama dengan kebiasaannya yang dulu atau bertambah ataupun berkurang, dan apabila ia suci maka ia shalat. (Jami’ Ahkamun Nisa’ 1/212-213)

7) Apabila seorang wanita suci beberapa saat setelah fajar di bulan Ramadhan, apakah ia harus menahan diri dari makan dan minum pada hari itu, apakah sah puasanya atau harus mengqadlanya?

Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab dalam kitabnya Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl : “Apabila seorang wanita suci setelah terbit fajar maka dalam permasalahan menahan makan dan minum bagi si wanita, ulama terbagi dalam dua pendapat :

Pertama : Wajib baginya untuk menahan dari makan dan minum pada sisa hari itu, akan tetapi ia tidak terhitung melakukan puasa hingga ia harus mengqadlanya di lain hari. Ini pendapat yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad.

Kedua : Tidak wajib baginya menahan makan dan minum pada sisa hari tersebut karena pada awal hari itu ia dalam keadaan haid hingga bila ia puasa maka puasanya tidak sah. Apabila puasanya tidak sah maka tidak ada faidahnya ia menahan dari makan dan minum. Hari tersebut bukanlah hari yang diharamkan baginya untuk makan dan minum karena ia diperintah untuk berbuka pada awal hari (disebabkan haidnya), bahkan haram baginya berpuasa pada awal hari tersebut. Puasa yang syar’i sebagaimana yang sama kita ketahui adalah menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa dalam rangka beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari mulai terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari. Pendapat yang kedua ini sebagaimana yang engkau lihat lebih kuat dari pendapat pertama.” (Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Halaman 9-10)

8) Apakah wanita haid harus mengganti pakaian yang dikenakannya setelah ia suci sementara ia tahu pakaian tersebut tidak terkena darah atau najis?

Tidak wajib baginya mengganti pakaian tersebut karena haid tidaklah menajisi badan. Hanyalah darah haid itu menajisi sesuatu yang bersentuhan dengannya (mengenainya). Karena itu Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan para wanita apabila pakaian mereka terkena darah haid untuk mencucinya dan setelah itu boleh dipakai shalat. (Sittuna Su’alan ‘an Ahkamil Haidl. Asy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Halaman 21-22)

9) Adakah kafarah bagi seseorang yang menggauli istrinya dalam keadaan haid?

Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam tentang orang yang menggauli istrinya dalam keadaan haid. Beliau bersabda :

“Hendaklah orang itu bersedekah dengan satu dinar atau setengah dinar.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Namun hadits ini diperselisihkan apakah hukumnya marfu’ (sampai kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam) atau mauquf (ucapan Ibnu Abbas saja, bukan ucapan Nabi).

Al Imam Baihaqi rahimahullah telah menjelaskan hal ini dengan penjelasan yang mencukupi dalam kitabnya As Sunanul Kubra (1/314-319) dan beliau menyebutkan dengan sanad yang shahih sampai kepada Syu’bah bahwasannya Syu’bah rujuk dari pendapatnya semula akan marfu’-nya hadits ini. Pada akhirnya Syu’bah menyatakan hadits ini mauquf atas Ibnu Abbas (ucapan Ibnu Abbas).

Masalah seseorang menggauli istrinya ketika haid maka ada dua keadaan :

1. Karena yakin akan kehalalannya walaupun ia tahu dalil yang melarang. Orang seperti ini berarti telah menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

2. Tahu keharamannya tapi tidak dapat menahan dirinya. Dan ini terbagi lagi dalam dua keadaan :

a. Ia lupa atau tidak tahu, maka pelakunya tidaklah berdosa.

b. Ia melakukan dengan dorongan dirinya sendiri maka jelas ia berbuat dosa besar.

Untuk point yang kedua ini diperbincangkan apakah pelakunya harus membayar kafarah atau tidak. Dalam hal ini ada dua pendapat :

1) Tidak ada kewajiban kafarah baginya tapi cukup minta ampun kepada Allah. Kata Al Imam Al Khathabi rahimahullah : “Berkata sebagian besar ulama : ((Tidak ada kafarah baginya dan ia minta ampun kepada Allah. Mereka menganggap hadits dalam permasalahan kafarah bagi yang menggauli istri yang sedang haid itu adalah mursal atau mauquf atas Ibnu Abbas dan tidak benar bila hadits tersebut dihukumi muttashil marfu’.” Demikian pula dinukilkan dari Ibnu Qudamah dalam Al Mughni dari mayoritas ulama bahwasannya tidak ada kafarah bagi pelakunya. Dan pendapat ini dipegangi dalam madzhab Syafi’i, Malik, Abu Hanifah dan pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat darinya. Dihikayatkan pendapat ini oleh Abu Sulaiman Al Khaththabi dari sebagian besar ulama. Ibnul Mundzir juga menghikayatkan dari Atha’, Ibnu Abi Malikah, Asy Sya’bi, An Nakha’i, Makhul, Az Zuhri, Ayyub As Sikhtiyani, Abu Zinad, Rabi’ah, Hammad bin Abi Sulaiman, Sufyan Ats Tsauri, dan Al Laits bin Sa’ad. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/181-182)

2) Dikenai kafarah. Namun diperselisihkan lagi dalam hal jumlah kafarah-nya :

a) Sebanyak satu dinar atau setengah dinar, menurut pendapat Ibnu Abbas, Said bin Jubair, Al Hasan Al Bashri, Qatadah, Al Auza’i, Ishaq, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat dan Syafi’i dalam Al Qadim. (Syarh Umdatul Ahkam. Halaman 76. Az Zaawii)

b) Bila masih keluar darah maka kafarah-nya satu dinar, kalau sudah berhenti kafarah-nya setengah dinar. Ini pendapatnya satu kelompok dari ahli hadits.

c) Kafarah-nya 1/10 dinar, menurut pendapatnya Al Auza’i. (Lihat Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Halaman 54. Oleh Abul Walid Ibnu Rusyd Al Qurthubi)

d) Kafarah-nya membebaskan seorang budak, menurut pendapat Said bin Jubair. (Syarh Al Umdah. Halaman 77. Az Zaawii)

e) Kafarah-nya sama dengan kafarah jima’ di siang hari Ramadlan, yaitu membebaskan budak atau puasa 2 bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Ini merupakan pendapatnya Al Hasan Al Bashri. (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/182)

Asy Syaikh Mushthafa Al Adawi berpendapat : “Yang benar adalah tidak ada kafarah bagi pelakunya, Wallahu A’lam” (karena hadits Ibnu Abbas mauquf). Kemudian beliau menukilkan ucapan Ibnu Hazm dalam Al Muhalla : “Masalah ((siapa yang menggauli istrinya ketika haid)), maka sungguh ia telah bermaksiat kepada Allah Ta’ala dan wajib baginya untuk bertaubat dan minta ampun kepada-Nya. Dan tidak ada kafarah baginya dalam hal ini.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ 1/182)

Wallahu A’lam Bishawwab.


Dicopas dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar