Rabu, 23 Maret 2011

Makna Kalimat Tauhid


Laa Ilaaha Illallah adalah kalimat yang terdiri dari 4 kata, yaitu : kata (laa), kata (Ilaha), kata (illa) dan kata (Allah). 
Adapun secara bahasa bisa kita uraikan secara ringkas sebagai berikut : 
  • Laa adalah nafiyah lil jins (Meniadakan keberadaan semua jenis kata benda yang datang setelahnya). Misalnya perkataan orang Arab “Laa rojula fid dari” (Tidak ada laki-laki dalam rumah) yaitu menafikan (meniadakan) semua jenis laki-laki di dalam rumah. Sehingga laa dalam kalimat tauhid ini bermakna penafian semua jenis penyembahan dan peribadahan yang haq dari siapapun juga kecuali kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
  • Ilah adalah mashdar (kata dasar) yang bermakna maf’ul (obyek) sehingga bermakna ma`luh yang artinya adalah ma’bud (yang diibadahi). Karena aliha maknanya adalah ‘abada sehingga makna ma’luh adalah ma’bud.
  • Illa (kecuali). Pengecualian di sini adalah mengeluarkan kata yang terletak setelah illa dari hukum kata yang telah dinafikan oleh laa. Misalnya dalam contoh di atas laa rajula fid dari illa Muhammad, yaitu Muhammad (sebagai kata setelah illa) dikeluarkan (dikecualikan) dari hukum sebelum illa yaitu peniadaan semua jenis laki-laki di dalam rumah, sehingga maknanya adalah tidak ada satupun jenis laki-laki di dalam rumah kecuali Muhammad. Jika diterapkan dalam kalimat tauhid ini makna maknanya adalah bahwa hanya Allah yang diperkecualikan dari seluruh jenis ilah yang telah dinafikan oleh kata laa sebelumnya.
  • Lafadz “Allah” asal katanya adalah Al-Ilah dibuang hamzahnya untuk mempermudah membacanya, lalu lam yang pertama diidhgamkan (digabungkan) pada lam yang kedua maka menjadilah satu lam yang ditasydid dan lam yang kedua diucapkan tebal sebagaimana pendapat Imam Al-Kisa`i dan Imam Al-Farra` dan juga pendapat Imam As-Sibawaih. 
Adapun maknanya, berkata Al-Imam Ibnu Qoyyim dalam Madarij As-Salikin (1/18) : 
“Nama “Allah” menunjukkan bahwa Dialah yang merupakan ma’luh (yang disembah) ma’bud (yang diibadahi). Seluruh makhluk beribadah kepadanya dengan penuh kecintaan, pengagungan dan ketundukan”.
Lafadz jalalah “Allah” adalah nama yang khusus untuk Allah saja, adapun seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang lainnya kembali kepada lafadz jalalah tersebut. Karena itulah tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang dinamakan Allah.
Kemudian dari perkara yang paling penting diketahui bahwa Laa ini –sebagaimana yang telah diketahui oleh semua orang yang memiliki ilmu bahasa Arab- membutuhkan isim dan khobar.
Isim laa adalah kata ilaha, adapun khobarnya, disinilah letak perselisihan manusia dalam penentuannya. Adapun yang dipilih oleh para ulama As-Salaf secara keseluruhan adalah bahwa khobarnya (dibuang) oleh karena itulah harus menentukan khobarnya untuk memahami maknanya dengan benar. Dan para ulama Salaf sepakat bahwa yang dibuang tersebut adalah kata haqqun atau bihaqqin (yang berhak disembah), dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Luqman ayat 30 :

ذَلِكَ بِأَنَّ اللهَ هُوَ الحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ البَاطِلُ وَأَنََّ اللهَ هُوَ العَلِيُّ الكَبِيْرُ

“Yang demikian itu karena Allahlah yang hak (untuk disembah) dan apa saja yang mereka sembah selain Allah maka itu adalah sembahan yang batil dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.

Maka dari seluruh penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Maka kalimat tauhid ini menunjukkan akan penafian/penolakan/peniadaan semua jenis penyembahan dan peribadahan dari semua selain Allah Ta’ala, apa dan siapapun dia, serta penetapan bahwa penyembahan dan peribadahan dengan seluruh macam bentuknya –baik yang zhohir maupun yang batin- hanya ditujukan kepada Allah semata tidak kepada selainnya. Oleh karena itu semua yang disembah selain Allah Ta’ala memang betul telah disembah, akan tetapi dia disembah dengan kebatilan, kezholiman, pelampauan batas dan kesewenang-wenangan.

Dari penjelasan di atas diketahui bahwa kalimat Laa Ilaaha Illallah mengandung dua rukun asasi yang harus terpenuhi sebagai syarat diterimanya syahadat seorang muslim yang mengucapkan kalimat tersebut :
Pertama :An-Nafyu (penafian/penolakan/peniadaan) yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha. Yaitu menafikan, menolak dan meniadakan seluruh sembahan yang berhak untuk disembah bagaimanapun jenis dan bentuknya dari kalangan makhluk, baik yang hidup apalagi yang mati, baik malaikat yang terdekat dengan Allah maupun Rasul yang terutus terlebih lagi makhluk yang derajatnya di bawah keduanya.
Kedua :Al-Itsbat (penetapan) yang terkandung dalam kalimat Illallah. Yaitu menetapkan seluruh ibadah baik yang lahir seperti sholat, zakat, haji, menyembelih dan lain-lain maupun yang batin seperti tawakkal, harapan, ketakutan, kecintaan dan lain-lain. Baik dari ucapan seperti dzikir, membaca Al-Qur’an berdoa dan sebagainya maupun perbuatan seperti ruku dan sujud sewaktu sholat, tawaf dan sa`i ketika haji dan lain-lain hanya untuk Allah saja.
Maka syahadat seseorang belumlah benar jika salah satu dari dua rukun itu atau kedua-duanya tidak terlaksana. Misalnya ada orang yang hanya meyakini Allah itu berhak disembah (hanya menetapkan) tetapi juga menyembah yang lain atau tidak mengingkari penyembahan selain Allah (tidak menafikan). 



Di sadur dari tulisan Ustadz Hammad Abu Mu’awiyah,
link sumber artikel : http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/makna-kalimat-tauhid-laa-ilaha-illallah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar