Al-Imam Asy-Syaukany berkata:
بابٌ الاعتكافُ:
يُشرع ويصحّ في كل وقت في المساجد. وهو في رمضانَ آكدُ، لا سيَّما في العشر الأواخر منه. ويستحب اجتهادٌ في العمل فيها، وقيام ليالي القدْر. ولا يخرج المعتكف إلا لحاجة.
Bab Al-I’tikaf
(I’tikaf) disyari’atkan dan sah pada setiap
waktu di masjid-masjid. Dan I’tikaf di bulan Ramadhan itu lebih kuat,
terlebih pada sepuluh hari terakhir darinya. Dan disunnahkan
bersungguh-sungguh dalam beramal padanya, serta menghidupkan lailatul
qadr. Dan dia tidak keluar dari tempat i’tikafnya kecuali karena suatu
kebutuhan.
Ucapan Penulis: “(I’tikaf) disyari’atkan dan sah pada setiap waktu di masjid-masjid.”
Yaitu bahwa ‘i’tikaf itu diperbolehkan dan disyari’atkan.
Dikatakan disyari’atkan karena i’tikaf itu adalah ibadah kepada Allah
Ta’ala, dan asal ibadah itu adalah berpijak pada tuntunan. Hal ini
berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan oleh
Muslim,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“Barang siapa beramal suatu amalan yang tidak ada padanya perintah (tuntunan) kami maka amalan itu tertolak.”
Akan tetapi ucapan beliau “pada setiap waktu”
apakah maksudnya entah sebentar atau lama tanpa ada batasan dan ikatan?
Makna yang benar adalah bahwa hal itu ada batasan dan ikatannya. Hal
ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dari ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau.
Tapi perlu diingat bahwa jika dalam penunaian i’tikaf itu
ada mafsadat dan madharat, maka menolak madharat itu lebih didahulukan
dibanding mencari manfaat. Contohnya jika ia i’tikaf maka akan
memnajdikan dia menyia-nyiakan kewajibannya sebagai kepala keluarga
sehingga anak dan istri tidak terurus. Maka hal ini dikategorikan
sebagai madharat, jika dia tetap memilih untuk i’tikaf.
Berapa lama batas minimal dari waktu i’tikaf?
Diriwayatkan dari beliau bahwa paling minimal dari waktu
i’tikaf adalah semalam. Hal ini berdasar persetujuan beliau sebagaimana
diriwayatkan dalam hadits ‘Umar radhiyallahu ‘anhu dalam Ash-Shahihain,
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk
i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata: “Tunaikan
nadzarmu”.
Hal ini menunjukkan bahwa i’tikaf dalam bentuk seperti ini boleh.
Para ulama telah mengukuhkan bahwa paling minimal dari
waktu i’tikaf adalah yang disebutkan maknanya dalam hadits ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu (yaitu semalam). Dari hal ini kita meyakini bahwa
yang lebih sedikit dari itu seprti satu menit, atau satu jam maka tidak
disebut i’tikaf syar’i meskipun disebut sebagai i’tikaf secara bahasa.
Dimana i’tikaf ditunaikan?
Ucapan beliau “di masjid-masjid” mengisyaratkan
bahwa i’tikaf yang syar’i adalah i’tikaf yang ditunaikan di
masjid-masjid. Tidak ada i’tikaf ditunaikan dalam rumah. Karena i’tikaf
dalam rumah akan menyebabkan disia-siakannya kewajiban yaitu penunaian
shalat jama’ah di masjid. Padahal Allah Ta’ala telah memerintahkan kaum
lelaki untuk shalat jama’ah di masjid. Maka i’tikaf yang syar’i itu
ditunaikan di masjid.
Hal ini berdasarkan ayat,
وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan kalian sedang i’tikaf di masjid-masjid.” (Al-Baqarah: 185)
Dan hadits-hadits yang sebentar lagi disebutkan menunjukkan
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunaikan i’tikafnya di
masjid.
Bagaimana dengan kaum wanita?
Sampaipun wanita jika ia ingin untuk i’tikaf yang syar’i
maka juga i’tikaf di masjid dengan syarat tidak akan timbul kerusakan
dan fitnah. Jika akan menimbulkan fitnah maka para wanita tidak i’tikaf
di masjid. Telah diriwayatkan bahwa sebagian istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam i’tikaf bersama beliau di masjid sebagaimana dalam
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha diriwayatkan oleh Ashhabu As-Sunan,
إِنِّي كُنْتُ لَآتِي الْبَيْتَ وَفِيهِ الْمَرِيضُ ، فَمَا أَسْأَلُ عَنْهُ إِلا وَأَنَا مَارَّةٌ وَهِيَ مُعْتَكِفَة
“Sesungguhnya aku datang ke masjid dan padanya ada
orang sakit, maka aku tidak bertanya tentangnya kecuali akau hanya lewat
dan dia wanita yang beri’tikaf.”
Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat
selalu ikutnya istri-istri beliau dan suatu ketika melihat tiga tenda
kecil dalam masjid (satu punya ‘Aisyah, satu punya Hafshah, satu punya
Zainab) beliau berkata: “Apa ini?” Para shahabat berkata:
“Istri-istri engkau ingin i’tikaf bersamamu tahun ini. Maka beliau
berkata: “Apakah kebaikan yang kalian inginkan?” Maka beliau tidak
i’tikaf di Ramadhan tahun tersebut. Dan beliau menggantinya pada sepuluh
hari awal bulan Syawal. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim.
Apakah i’tikaf hanya terbatas pada tiga masjid?
Pada ucapan penulis dan ayat di atas menunjukkan bahwa yang
benar i’tikaf itu bisa ditunaikan di setiap masjid. Dan yang paling
utama ditunaikan di masjid jami’ (utama), agar tidak perlu keluar saat
shalat jum’ah. Jika masjid jami’ itu jauh maka dia karena keutuhan dia
dan keluarga boleh baginya i’tikaf di masjid yang terdekat dengan
rumahnya. Lalu pada hari jum’ah keluar ke masjid jami’ yang di sana
ditunaikan shalat jum’ah. Hanya saja kalau seperti ini i’tikafnya jadi
kurang sempurna seperti kalau i’tikaf di masjid jami’.
Adapun hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,
لاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِي ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ
“Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid.”
Yang benar dalam menafsirkan hadits ini adalah tidak ada i’tikaf yang sempurna pahalanya kecuali pada tiga masjid.
Karena telah sah dari keumuman dalil dan juga pemahaman
shahabat bahwa i’tikaf penunaiannya mencakup seluruh masjid. Dan
pendapat kebanyakan shahabat pada pemahaman dan pernyataan ini.
(Perlu diketahui bahwa permasalahan ini diperselisihkan.
Dan pendapat apapun yang telah diambil maka tidak sepantasnya mengecam
orang yang memilih pendapat yang lain. Karena masing-masing memiliki
panutan, sebagian ulama memilih pendapat ini dan ulama yang lain memilih
pendapat yang lain. Khilaf di sini adalah khilaf fiqhiyah maka
masing-masing sesuai dengan usahanya dalam belajar memilih mana yang
dibukakan Allah Ta’ala baginya bahwa itu lebih mendekati kebenaran, dan
tidak perlu mengecam yang lain.)
Apakah i’tikaf bisa dilakukan selain pada bulan Ramadhan?
Ucapan Penulis: “Dan I’tikaf di bulan Ramadhan itu lebih kuat” mengisyaratkan
bahwa i’tikaf bisa dilakukan selain pada bulan Ramadhan. Adapun pada
Ramadhan itu lebih kuat dan lebih utama maka hal ini berdasarkan praktek
Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa beliau i’tikaf di bulan
Ramadhan dalam rangka mencari lailatul qadr. Dan lailatul qadr itu hanya
ada pada Ramadhan, yang mana yang benar bahwa malam ini berada pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Dan tidak hanya berada pada hari
tertentu saja namun yang paling bisa diharapkan adalah pada malam-malam
ganjil, dan yang lebih diharapkan lagi adalah malam dua puluh tujuh.
Yang jelas lailatul qadr itu bisa jadi berpindah-pindah.
Dan yang menunjukkan bahwa i’tikaf boleh selain bulan
Ramadhan adalah hadits yang telah lewat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam i’tikaf pada sepuluh hari bulan Syawal. Dan juga boleh
dilakukan pada selain Syawal sebagaimana dalam hadits ‘Umar radhiyallahu
‘aanhu
كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ قَالَ فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
“Aku pernah berrnadzar pada zaman jahiliyah untuk
i’tikaf semalam di Masjidil Haram, maka Rasulullah berkata: “Tunaikan
nadzarmu”.
Dan kata semalam ini mutlak tidak dibatasi dengan hari
tertentu atau bulan tertentu. Yang jelas suatu malam entah pada bulan
apa itu. Dan bisa di awal bulaan bisa juga di akhir bulan.
Jika tidak bisa i’tikaf di bulan Ramadhan apakah boleh diqadha’?
Siapa yang tersibukkan dari penuanaian i’tikaf di bulan
Ramadhan maka boleh baginya menggantinya di bulan yang lain. Jika dia
mampu melakukannya pada bulan Syawal maka hendaknya dia lakukan, hal ini
berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain di atas “Dan beliau menggantinya pada sepuluh hari awal bulan Syawal”.
Demikian juga kalau dia Cuma memenmukan kesempatan pada bulan Rajab,
maka boleh baginya untuk beri’tikaf. Yang dimaukan dari i’tikaf adalah
curahan tenaga dan memperbanyak ibadah dan seseorang memperbaiki dirinya
secara lahir dan batin.
Ucapan Penulis “terlebih pada sepuluh hari terakhir darinya”
Pada sepuluh hari terakhir ini merupakan sebaik-baik saat,
karena padanya ada lailatul qadr sebagaimana diriwayatkan dalam hadits
shahih yang banyak. Dan lailatul qadr ini lebih baik dari seribu bulan.
Ucapan Penulis “Dan disunnahkan bersungguh-sungguh dalam beramal padanya”
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika masuk
sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan) beliau menghidupkan malamnya dan
membangunkan keluarganya serta bersungguh-sungguh dan mengencangkan tali
pinggang.” Hadits diriwayatkan dalam Ash-Shahihain.
Maknanya bahwa beliau begitu bersungguh-sungguh mengejar
kebaikan yang mana hal itu tidak beliau lakukan pada hari-hari Ramadhan
yang lain. Dan kata “Mengencangkan tali pinggangnya” adalah ungkapan
dari menghidari menggauli wanita. Karena orang yang beri’tikaf harus
menjauhi mempergauli wanita sebagamana firman Allah Ta’ala,
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah engkau menggauli mereka sedangkaan kalian sedang i’tikaf di masjid-masjid.”
Apakah larangan menggauli ini umum atau khusus yang mengarah hubungan badan?
Yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang khusus, karena
orang yang i’tikaf masih diperbolehkan bicara dengan istrinya, boleh
menyentuhnya dan istrinya boleh menyentuhnya. Karena telah shahih
riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِى إِلَىَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ
“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika i’tikaf
beliau mendekatkan kepalanya padaku lalu aku merapikan rambutnya, dan
beliau tidak masuk rumah kecuali karena suatu kebutuhan seorang
manusia.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim
Dan hadits Shafiyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ لِتَنْقَلِبَ ، وَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَقْلِبَهَا
“Bahwa dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengunjunginya pada saat i’tikafnya di masjid pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, maka dia berbicara bersama beliau sesaat lalu
bangkit untuk pergi dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam juga ikut
bangkit mengantarnya pulang.” Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Bolehkan orang i’tikaf berbicara perkara selain ibadah?
Hadits di atas menunjukkan pula bahwa orang yang i’tikaf
boleh berbicara perkara yang bukan ibadah, tapi kadang-kadang dan bukan
terus-menerus. Sesuai dengan kebutuhan tidak berlebih-lebihan. Yang mana
secara asal orang yang i’tikaf menggunakan waktunya untuk memperbanyak
doa, dzikir, shalat dan tilawah Al-Qur’an dan ibadah yang lain.
Ucapan Penulis “serta menghidupkan lailatul qadr”
Lailatul qadr itu satu malam saja, hanya saja ia malam yang
tidak bisa dipastikan. Hanya saja yang paling diharapkan adalah pada
malam-malam sepuluh terakhir, terkhusus malam-malam ganjil, terkhusus
malam dua puluh tujuh. Maka hendaknya untuk bersungguh-sungguh pada
malam-malam ini, sebagaimana praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana dalam Ash-Shahihain,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa menghidupkan malam kemuliaan (lalilatul
qadr) didasari keimanan dan mengharap pahala dari Allah akan diampuni
dari dosanya yang telah lewat.”
Dan berdasar ini jika seseorang ingin menemukan lailatul
qadr maka disarankan untuk menghidupkan semua malam di bulan Ramadhan
dengan ibadah. Dan mengutamakan sepuluh hari terakhir dengan
kesungguhan, dan mengkhususkan malam ganjil dengan kesungguhan yang
lebih.
Bolehkan orang yang i’tikaf keluar dari masjid?
Ucapan Penulis “Dan dia tidak keluar dari tempat i’tikafnya kecuali karena suatu kebutuhan.”
Orang yang i’tikaf secara asal tidaklah keluar dari masjid,
karena dia harus menetapi tempatnya, tidak keluar kecuali karena memang
harus keluar. Karena telah shahih riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha,
وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ
” dan beliau tidak masuk rumah kecuali karena suatu kebutuhan seorang manusia.” Diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim
Dan kebutuhan manusia contohnya untuk makan, minum, atau
ingin buang hajat (buang air kecil atau besar) atau mandi jika terkena
mimpi dan kena junub. Dan semua perkara ini sekarang telah termudahkan
dan tersedia di masjid atau di dekat masjid. Kalau demikian adanya maka
lebih uatama baginya untuk tidak keluar.
Contohnya juga kalau tiba-tiba datang anaknya yang masih
kecil daan tidak adaa yang mengembalikannya ke rumah kecuali dia maka
boleh baginya keluar mengantarkannya lalu balik ke masjid. Hal ini
berdasarkan hadits Shafiyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزُورُهُ فِي اعْتِكَافِهِ فِي الْمَسْجِدِ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَتَحَدَّثَتْ عِنْدَهُ سَاعَةً ، ثُمَّ قَامَتْ لِتَنْقَلِبَ ، وَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَقْلِبَهَا
“Bahwa dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengunjunginya pada saat i’tikafnya di masjid pada sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, maka dia berbicara bersama beliau sesaat lalu
bangkit untuk pergi dan Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam juga ikut
bangkit mengantarnya pulang.” Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban.
Jika keluar untuk menjenguk orang sakit atau untuk melakukan suatu kebaikan yang tidak darurat?
Keluar untuk menjenguk orang sakit bukanlah kebutuhan yang darurat, sebagaimana praktek ‘Aisyah radhiyallahu an’ha,
إِنِّي كُنْتُ لَآتِي الْبَيْتَ وَفِيهِ الْمَرِيضُ ، فَمَا أَسْأَلُ عَنْهُ إِلا وَأَنَا مَارَّةٌ وَهِيَ مُعْتَكِفَة
“Sesungguhnya aku datang ke masjid dan padanya ada
orang sakit, maka aku tidak bertanya tentangnya kecuali akau hanya lewat
dan dia wanita yang beri’tikaf.”
Inilah sunnah dan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘aalihi wa sallam yang ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha tiru dari beliau.
Wallahu ‘alam bi shawab
Ditranskrip dan diterjemahkan oleh
‘Umar Al-Indunisy di Darul Hadits – Ma’bar
dengan peringkasan
Sumber artikel Blog Thalib Ma'bar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar