Rabu, 13 April 2011

Ummu Ma'bad


 Perjalanan hijrah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang disertai sahabat beliau, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu anhu berlangsung diam-diam, menghindari kejaran Quraisy. Perjalanan yang tak ringan. Di tengah payahnya perjalanan Makkah-Madinah, mereka singgah di sebuah tenda, tempat tinggal sepasang suami istri yang selalu memberikan jamuan kepada orang-orang yang singgah di sana. Peristiwa yang menakjubkan pun terjadi dalam kehidupan seorang wanita bernama Ummu Ma’bad.

Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, Atikah bintu Khalid bin Khalif bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Dia menikah dengan sepupunya, Tamim bin ‘Abdil ‘Uzza bin Munqidz bin Rabi’ah bin Ashram bin Dhabis bin Haram bin Habsyiyah bin Salul bin Ka’b bin ‘Amr dari Khuza’ah. Mereka dikaruniai seorang anak yang mereka beri nama Ma’bad. Dengan nama inilah mereka berkunyah.
Mereka berdua tinggal di Qudaid, antara Makkah dan Madinah. Namun mungkin mereka tak pernah menyangka, tempat tinggal mereka akan menjadi tempat yang masyhur dengan singgahnya utusan Allah subhanahu wata'ala di sana.

Ummu Ma’bad adalah seorang wanita yang tekun dan ulet. Dia biasa duduk di serambi tendanya, memberi makanan dan minuman kepada siapa pun yang melewati tendanya.
Sementara itu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr radhiallahu anhu hendak melanjutkan perjalanan kembali setelah bersembunyi selama tiga hari dalam gua. Budak Abu Bakr, ‘Amr bin Fuhairah menyertai mereka. Juga seorang penunjuk jalan, Abdullah bin ‘Uraiqith Al-Laitsi yang datang pada hari yang ditentukan membawa dua tunggangan milik Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr. Senin dini hari mereka berangkat.
Selasa, mereka sampai di Qudaid. Berempat mereka singgah di tenda Ummu Ma’bad. 
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Abu Bakr meminta daging dan kurma yang dia miliki. Mereka hendak membelinya.
“Kalau kami memiliki sesuatu, tentu kalian tidak akan kesulitan mendapat jamuan,” kata Ummu Ma’bad. Saat itu adalah masa paceklik, kambing-kambing pun tidak beranak.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melihat seekor kambing betina di samping tenda. “Mengapa kambing ini?” tanya beliau.
“Dia tertinggal dari kambing-kambing yang lain karena lemah,” jawab Ummu Ma’bad.
“Apa dia masih mengeluarkan susu?” tanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lagi.
“Bahkan dia lebih payah dari itu!” ujar Ummu Ma’bad.
“Apakah engkau izinkan bila kuperah susunya?” tanya Rasulullah.
“Boleh, demi ayah dan ibuku,” jawab Ummu Ma’bad. “Bila kau lihat dia masih bisa diperah susunya, perahlah!”
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengusap kantong susu kambing betina itu sambil menyebut nama Allah subhanahu wata'ala dan berdoa. Seketika itu juga, kantong susu kambing betina itu menggembung dan membesar. Rasulullah meminta bejana pada Ummu Ma’bad, lalu memerah susu kambing itu dalam bejana hingga penuh. Rasulullah menyerahkan bejana itu pada Ummu Ma’bad. Ummu Ma’bad pun meminum susu itu hingga kenyang. Setelah itu beliau memberikannya kepada yang lainnya hingga mereka pun kenyang. Barulah beliau minum susu itu.
Rasulullah  memerah susu kambing itu lagi hingga bejana memenuhi bejana. Beliau tinggalkan bejana yang penuh berisi susu itu untuk Ummu Ma’bad, kemudian mereka melanjutkan perjalanan.

Tak lama kemudian, suami Ummu Ma’bad datang sambil menggiring kambing-kambing yang kurus dan lemah. 
Ketika melihat bejana berisi susu, dia bertanya keheranan, “Dari mana susu ini? Padahal kambing-kambing kita tidak beranak dan di rumah tak ada kambing yang bisa diperah!”
“Demi Allah,” kata Ummu Ma’bad. “Tadi ada seseorang yang penuh berkah lewat di sini. Di antara ucapannya, begini dan begini ….”
“Demi Allah,” sahut Abu Ma’bad, “Aku yakin, dialah salah seorang Quraisy yang sedang mereka cari-cari! Gambarkan padaku, bagaimana ciri-cirinya, wahai Ummu Ma’bad!”

Ummu Ma’bad pun melukiskan sifat Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam yang dilihatnya, “Dia sungguh elok. Wajahnya berseri-seri. Bagus perawakannya, tidak gemuk, tidak kecil kepalanya, tampan rupawan. Bola matanya hitam legam, bulu matanya panjang. Suaranya agak serak-serak, dan lehernya jenjang. Jenggotnya lebat, matanya jeli bagaikan bercelak. Alisnya panjang melengkung dengan kedua ujung yang bertemu, rambutnya hitam legam. Bila diam, dia tampak berwibawa, bila berbicara, dia tampak ramah. Amat bagus dan elok dilihat dari kejauhan, amat tampan dipandang dari dekat. Manis tutur katanya, tidak sedikit bicaranya, tidak pula berlebihan, ucapannya bak untaian marjan. Perawakannya sedang, tidak dipandang remeh karena pendek, tak pula enggan mata memandangnya karena terlalu tinggi. Dia bagai pertengahan antara dua dahan, dia yang paling tampan dan paling mulia dari ketiga temannya yang lain. Dia memiliki teman-teman yang mengelilinginya. Bila dia berbicara, mereka mendengarkan ucapannya baik-baik. Bila dia memerintahkan sesuatu, mereka dengan segera melayani dan menaati perintahnya. Dia tak pernah bermuka masam dan tak bertele-tele ucapannya.”

Mendengar penuturan itu, Abu Ma’bad berkata yakin, “Demi Allah, dia pasti orang Quraisy yang sedang mereka cari-cari. Aku bertekad untuk menemaninya, dan sungguh aku akan melakukannya jika kudapatkan jalan untuk itu!”
Hari yang penuh kebaikan dari sisi Allah subhanahu wata'ala. Pada hari itu, Ummu Ma’bad masuk Islam.1
Dikisahkan, kambing Ummu Ma’bad yang diusap oleh Rasulullah  panjang umurnya. Kambing itu tetap hidup sampai masa pemerintahan ‘Umar ibnul Khaththab tahun 12 H dan selalu mengeluarkan air susunya saat diperah, pagi maupun sore hari.
Ummu Ma’bad Al-Khuza’iyah, semoga Allah subhanahu wata'ala meridhainya ….

Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.

Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (8/305-307)
Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1876,1958-1962)
Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/288)
Ats-Tsiqat, karya Al-Imam Ibnu Hibban (1/123-128)
Mukhtashar Siratir Rasul, karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal. 131-133)

1 Ahli sejarah yang lain mengatakan, Ummu Ma’bad datang kepada Rasulullah  setelah peristiwa itu untuk menyatakan keislamannya dan berbai’at. Wallahu a’lam.

Sumber artikel : di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar